Di tengah hujan

 


Di tengah hujan hari ini saya merenung. Memikirkan kembali masa depan negara, akhir alam semesta, saudara di Palestina, dan anak yang jatuh semalam. Tanah yang kian basah dan suara rintikan hujan menambah syahdu pikiran saya yang semakin berpesta pora memenuhi kepala. Mungkin efek kopi hitam yang diseruput sedikit-sedikit, yang entah kapan habisnya, membuat saya semakin tenggelam dalam lautan kemungkinan-kemungkinan fana.

Habis ini begini-begitu, besok ini, lusa itu. Kadang saat-saat seperti ini mampir tak disangka, terkadang saat buang air besar, terkadang saat di penghujung malam, terkadang saat motoran. Realita seakan undur diri menjauh, mengizinkan alam bawah sadar muncul sementara. Sejak kecil saya sering dibilang suka melamun, pamit dari keramaian, duduk sendiri sembari melihat mereka, mencari tempat di tengah dunia, apakah saya punya peran?, seperti seorang tokoh utama dalam sinetron India?

Hujan kali ini membuat saya ingin mencurahkan isi pikiran saya yang hilang kendali, hilang arah, bukan, bukan gila, saya masih waras, hanya sedikit ramai saja suara di kepala. Kegagalan-kegagalan saya dahulu, perjuangan mereka waktu itu, harapan yang luruh kemarin, apakah semuanya mempunyai makna?, selama ini saya hanya ikut-ikut saja. Sekolah disini iya, masuk kedokteran iya, menikah iya, punya anak iya, semuanya keluar dari rencana. Tapi, sekarang saya malah berani mengambil langkah, entah kenapa, tiba-tiba keluar dari zona nyaman, padahal saya tau jalannya tidak mudah, susah setengah mati.

Hari itu, saat saya menceritakan keinginan saya kepada kedua orang tua saya, mereka langsung senang, mendukung, dan terharu. Saya memutuskan ingin melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi, menjadi seorang ahli Bedah Syaraf. Entah kenapa, hanya ini satu-satunya yang saya inginkan di tengah banyaknya pilihan spesialisasi. Kenapa bedah syaraf? Sekolahnya lama, belajarnya susah, kerjanya berat, mengharuskan bangun tengah malam jika ada kegawatan, uangnya juga tidak seberapa dibandingkan yang lain. Pertanyaan itu terus mengambang dalam benak. Apa yang saya cari disitu?

Saya teringat salah seorang pasien yang terdiagnosa tumor otak. Waktu itu saya masih seorang dokter muda yang mengenyam pendidikan di sebuah rumah sakit. Pilihan pasien tersebut untuk sembuh hanyalah melalui operasi, jika tidak, tumornya akan semakin membesar dan menekan segala struktur yang ada dalam kepalanya, mengakibatkan fungsi tubuhnya akan terganggu, dan pada akhirnya dapat berakibat fatal. Operasi bedah kepala memang mempunyai banyak risiko, mulai dari infeksi, perdarahan, bahkan kematian bukanlah hal yang langka. Namun, ditengah masifnya perkembangan ilmu, tumor tersebut bisa diangkat, dan kualitas hidup pasien dapat meningkat. Harapan-harapan, dengan segala keputusan yang berat, dititipkan kepada seorang ahli bedah syaraf. Tentu, hal itu tidaklah ringan. Di tengah suasana itu, pasien, keluarga, dan dokter berada dalam garis hidup dan mati. Kematian terlihat di depan mata. Saya pun semakin sadar akan beratnya harapan, waktu terlihat semakin berharga, melebihi apapun. Empati seorang dokter, seorang manusia, terdorong sampai ke puncaknya, menyadarkan kita semua, bahwa inilah puncak kemampuan kita sebagai manusia dan Allah yang akan mengaturnya.


Sampai jumpa di tulisan selanjutnya.

Comments

Popular posts from this blog

Merogoh rupiah terakhir

Momen sederhana

BPJS pun angkat tangan