Jalan-jalan di perjalanan baru
Setiap awal perjalanan saya di tempat yang baru pasti akan selalu diuji dengan ragam keterbatasan. Tipisnya dompet dan sempitnya ruang gerak menjadi beberapa dari banyak ujian keterbatasan itu, dan saya sangat sadar bahwa itu sudah sepaket dalam sebuah risiko pilihan hidup. Saya memilih, dan sekarang saya menjalani. Namun, Tuhan memberikan kita ujian karena Ia tau bahwa kita mampu dan bisa mendapatkan pelajaran dan makna dari itu semua.
Januari 2025. Saya memilih untuk melanjutkan perjalanan ke Gorontalo. Pilihan yang bahkan sampai sekarang mengundang tanya banyak orang. Teman, rekan kerja, mertua, bahkan saya sendiri. 5W1H beruntun keluar dari mulut mereka, dan hampir semuanya hanya bisa saya jawab dengan "Tuhan pasti akan berikan jalan kalau itu sudah rezeki saya", ambigu, abu-abu.
Hari ini, saya duduk termenung, berteduh melihat hujan yang hampir tiap hari membasahi tanah kota ini. Sudah kayaknya hampir 5 kilometer saya berjalan di sepanjang trotoar entah mau kemana. Berusaha menghemat uang naik bentor yang tidak ada tarif pastinya, setiap kali ditanya ongkos, jawabnya hanya terserah saja mau dikasih berapa, alhasil lembar 50 ribu dikembalikan setengahnya dengan jarak yang tertempuh tak jauh. Hitungan saya kalau setiap kemana naik bentor habis begini, bulan depan jangankan mampu beli nasi kuning semika yang harganya 5 ribu, saya pasti akan makan Ind*mie goreng atau nasi garam saja.
Setiap hari jalan kaki kemana-mana, bukan karena apa, karena memang tak punya uang, dompet kian menipis. Tapi, saya merasa itu lebih baik dari berdiam dalam kos, mengundang banyak rasa sedih dan pesimistik. Jalan-jalan ini sekalian saja untuk latihan otot kaki. Dengan saya berjalan, wajah kota ini semakin saya lihat. Mereka yang mendorong gerobak sampah, mereka yang tertidur di bentor, mereka yang menyelam di got pinggir jalan, mereka yang berpakaian maskot boneka, dan juga mereka, anak-anak yang selalu menunggu rupiah di perhentian lampu merah.
Saya yang melihat semua itu semakin sadar, bahwa risiko pilihan itu memanglah sebuah ujian. Ujian datang untuk mendapatkan pelajaran dan makna. Siapa saya dibandingkan mereka? Mengeluh dan mengeluh, sedih dan terus sedih, padahal kalau dibandingkan, ujian saya hanyalah keseharian bagi mereka. Untuk itu, dengan tulisan ini, saya sangat berterima kasih kepada kota ini yang telah sedikit menyingkap wajahnya.
Sampai jumpa di tulisan selanjutnya.

Comments
Post a Comment