Merogoh rupiah terakhir


Sekarang sudah sekitar dua tahun saya berprofesi utama sebagai seorang dokter. Profesi yang sering kali dibanggakan oleh banyak orang, baik itu orang tua, teman, orang asing, bahkan oleh diri dokter itu. Memang, tampak dari luar, bagi kebanyakan orang, dokter adalah pekerjaan yang sudah menjanjikan hidupnya, sampai hari tua pun masih bisa kerja. Profesi yang menjanjikan untuk bisa kaya, hidup makmur, profesi yang menjual ke calon mertua. Saya pun tidak menyangkal, karena saya juga merasakan kebanggaan itu. Namun, kadangkala saya terlupa, bahwa seorang dokter itu mendapatkan kekayaannya dari mereka yang datang karena sakit, yang susah, dan yang meminta pertolongan.


Hari itu tepatnya malam hari, datang keluarga membawa anaknya yang sakit, demam sudah sekitar dua hari. Mereka panik karena anak itu sempat kejang. Di IGD diterapi sesuai dengan kondisi medis. Segera setelah anak itu membaik dan tanda-tanda vital anak itu normal kembali, keluarga memutuskan untuk segera pulang karena tidak mempunyai jaminan kesehatan, entah karena tidak tau ataupun lalai. Keluarga itu datang dari mereka yang mempunyai ekonomi pas-pasan, bekerja sebagai buruh tani, pakaian tampak compang camping dengan bekas keringat dan kotoran tanah, bahkan status ekonomi mereka pun tercermin dari perawakan anak itu, kurus, kecil, tidak sesuai dengan umurnya. Sembari duduk di depan meja, berhadapan dengan petugas administrasi, si ibu itu merogoh rupiah dari dompetnya, lembaran uang kusut diambil sampai tidak tersisa lagi. Saya melihat pemandangan itu, rasa malu, sedih, menyesakkan. Profesi yang saya banggakan itu seakan redup, berkata "lihatlah dari mana uang yang kau dapat itu," saya menundukkan pandangan, membungkukkan badan, menyembunyikan wajah di balik meja, menutup mata "Beginikah perasaan menjadi seorang dokter?,"


Rezeki, ilmu, kebahagiaan itu saya dapatkan dari mereka yang sakit, mereka yang menderita. Pantaskah saya menerima itu? Ucapan terima kasih mereka, rasa syukur mereka, apakah tulus dari hati yang paling dalam? Niat saya dan empati saya, apakah betul dari hati ataukah hanya sekedar perasaan semu yang hadir sekejap menyelimuti kemunafikan saya akan kebanggaan profesi? Terkadang, terlintas pikiran saya untuk menjadi pedagang saja, membuka kedai kopi, menyajikan kopi ke mereka yang datang karena memang senang bercengkrama, bersenda gurau, kontras dengan pengunjung saya sekarang. Tapi, sangat sulit melepaskan idealisme saya, sampai sekarang pun, saya masih percaya dengan hati saya, profesi ini adalah untuk membantu mereka yang susah, bukan untuk mengambil keuntungan dari mereka. Insya Allah niat saya, empati saya, janji dokter saya tetap menjadi landasan utama saya untuk tetap kuat berjalan di jalan ini, dan saya berdoa untuk teman-teman sejawat saya, untuk tetap kuat dan tulus.


Sampai jumpa di tulisan selanjutnya.

Comments

Popular posts from this blog

Momen sederhana

BPJS pun angkat tangan