Pantat putih


Pantat putih. Bukan karena di tabur bedak, atau panuan, atau penyakit kulit lainnya. Panggilan itu dijadikan candaan di lingkungan tenaga kesehatan. Terkhusus IGD, ia tersemat kepada siapa saja yang ketika jaga selalunya ramai dengan pasien. Tiap daerah memang berbeda namanya, tapi di lingkungan kerjaku, dengan sebutan itulah aku dipanggil.

.

.

.

Palu, 28 September 2018. Sore kala itu kami digoncang dengan gempa 7.4 SR. Getaran tanah yang tak tentu, atas, bawah, kanan, kiri. Kakiku seperti tak menapak, aku diombang-ambing, terbanting-banting menabrak tembok dan lantai, terkunci di dalam rumah sampai goncangan pertama mereda. Aku keluar dari rumah, kunci cadangan untungnya bisa didapat meski isi rumah bak kapal pecah, dinding retak dan hampir jatuh. Orang-orang berbondong menyelamatkan barang berharga, akte tanah, uang, perhiasan. Aku? Uang tak punya, barang berharga pun tak punya, hanya seorang pelajar berbalut jaket dan celana panjang, lari menyelamatkan diri, tancap gas mencari tempat yang aman. Adzan magrib tak sempat berkumandang, listrik terlanjur padam, dan matahari mulai terbenam.


Lapangan itu luas, tapi penuh sesak dengan warga yang mengungsi. Ramai, berisik dengan mereka yang berteriak, memanggil-manggil sanak saudara, kerabat, keluarga. Semua orang tiba-tiba bertransformasi menjadi sosok religius sekaligus. Rentetan desis istigfar, bacaan mantra, nyanyian pujian, saling menyahut-nyahut meramaikan hiruk pikuk. Aku berjalan mengelilingi lapangan itu, sudah tiga putaran, namun belum ada satupun wajah yang tak asing. Smartphone tak berguna, menjadi dumbphone seketika sinyal tak ada. 


Gempa kecil-kecilan samar terasa, tak jelas apakah nyata atau ilusi saja. Kami semua berwaham ria, menuduh-nuduh, mencari penyebab musibah, walikota dijadikan tumbal, kambing hitam, disumpah-sumpah karena mengadakan ritual adat di festival Palu Nomoni yang katanya syirik, tak sesuai syariat agama.


“Ituee, karena kepala kambing itu”, 


“setiap kali dibikin itu ritual Palu Nomoni selalu ada musibah, so yang ketiga kali begini!,”


“saya yakin sudah teguran Tuhan ini,”


“Kiamat sudah ini, Allaaaahuakbar!!,”


Cerita miring, gosip, desas-desus, terkonfirmasi satu-persatu kala itu, hanya bermodal sebuah kata “iyo” dan “betul,” yang keluar dari mulut mereka tanpa adanya  tinjauan kembali. Masyarakat tambah panik dengan berita entah dari siapa yang mengatakan bapak Walikota dan wakil Walikota meninggal di seret tsunami pada saat pembukaan festival. Kacau. Namun, pada saat itu informasi memang tak bisa disaring, semua sarana dan prasarana kota lumpuh bersamaan. Semua orang merasa terkungkung, sindrom withdrawal mulai bermunculan karena kita tak bisa mengkonsumsi internet, air bersih, listrik, makanan dan minuman, serta rasa aman yang selama ini menjadi adiksi, hilang secara tiba-tiba, sekaligus. 


Tempat aman kala itu serasa tak ada. Mau lari ke bukit, longsor dimana-mana, jalan terbelah. Mau sembunyi di gedung, malah hancur runtuh tak berbekas, menimpa semua orang yang ada di dalam. Mau lari ke pantai, diancam tsunami dan kapal-kapal yang dimuntahkan dari pantai.  Kebakaran dan ledakan di perumahan. Likuifaksi, apa itu?, terminologi yang bahkan tak dikenal kala itu. Adegan film 2012 terbayang kembali, dimana aku merasa akan bernasib sama dengan aktor tambahan yang akan tewas kapan saja. Aku pun memutuskan untuk kembali kerumah, mungkin saja bisa bertemu dengan teman atau kenalan, yang masih bisa bercanda dalam keadaan ini.


Dia, teman yang sempat mengunciku dalam rumah. Untung aku tak bernasib tragis, tertimpa plafon rumah dan tai kucing amis-amis. Dia ternyata berada dalam mobil saat kejadian, sempat katanya heran dengan pengendara motor yang oleng dan jatuh tepat didepannya. Hampir sempat memaki karena sedikit lagi menyerempet mobil barunya. Kami bertukar informasi, berdiskusi dan akhirnya memutuskan untuk mencari teman yang lain di rumah sakit.


Situasi rumah sakit waktu itu sangat kacau. Semua pasien rawat inap dibawa lari keluar, berbaris tak beraturan di parkiran. Mobil ambulans datang tak henti, sirine bertalu-talu tak pernah reda. Korban-korban terbaring di atas tanah, sudah tak ada ranjang lagi. Pencahayaan hanya diterangi sebuah lampu parkiran yang terang dan mobil yang terparkir disana. Jerit kesakitan, isak tangis, dan teriakan tenaga medis saling bertabrakan.


“Dok! Ini ada pasien vulnus laseratum regio tibia!,”


“Kak!, ambilkan dulu alkohol, betadin, NaCl, sama alat jahit! Pasiennya perdarahan nda mau berhenti! Harus diligasi ini! Arterinya kena!,”


“Koass! Koass!, sini bantu deepkan lukanya! Kasih kuat! Sudah mau syok ini orang!,”


“Mamaaa!!,”


“Tabe, ada yang pernah ketemu orang ini kah?,”


“Papaku mana? Papaa!,”


“Adoohh!, sakit skali eee, sudah mau mati saya ini!,”


“Kase biar saja pasien yang itu, masih bisa teriak dia, ABC-nya bagus,”


“Hahahaha, ko tau pas tadi gempa-,”


“Nadoyo ini walikota-“


“CPR!,”


“Korban meninggal di area sana pak-,”


“Adoh kasihan!, mana depe keluarga ini-,”


.


.


.


Tap. Seseorang menepuk pundakku.


“Dek, koass to? Jahit dulu luka pasiennya yang itu,” katanya.


“Oh iye ka,” 


“Ini alat jahitnya,” 


“Alkoholnya ka?,” tanyaku.


“Alkoholnya habis dek, pake saja cairan yang ada,” jawabnya, dan melanjutkan kesibukan yang lain.


Situasi ini tak berhenti, malah kian memburuk. Malam ini adalah malam tersibuk dan teramai di kota Palu. Tumpukan jenazah bertambah seiring gelapnya malam. Tak sampai pagi, sudah hampir setengah parkiran depan IGD penuh dengan mayat. Tenda yang berdiri langsung penuh dengan korban yang terbaring. Bahkan salah seorang konsulenku adalah salah satu yang selamat dari terjangan tsunami. Dia tetap menggenggam tangan anaknya disamping yang juga menjadi korban, area betisnya bengkak, keras, dan berubah warna, katanya sindrom kompartemen, tak bisa ditindaki karena ruang operasi dan ruang tindakan masih lumpuh, konsulen yang dapat menangani mungkin masih memprioritaskan keluarga sebelum datang ke RS. 


“Tabe dok, saya izin tensi dulu dok,”


“Iye nak,”


.


.


.


Pagi. Tenaga kesehatan mulai muncul satu persatu, situasi perlahan aman dan terkendali karena sistem Hospital Disaster Plan mulai berjalan. Teman-teman yang kerja rodi sedari malam mulai menyandarkan punggungnya, tertidur lemas di pojokan. Rasa lapar sedari malam kian menyerang tak tertahan. Warung makan, kios, toko, hampir semuanya tutup. Makanan menjadi emas yang sulit dibagikan. Uang menjadi tak bernilai, sepiring nasi dan mie bisa seharga 50 ribu bahkan lebih. Inflasi terjadi secara tiba-tiba hanya dalam semalam. Penjarahan dimana-mana, katanya sudah diizinkan, yang penting hanya bahan makanan saja, tapi dilapangan malah ada yang ambil AC, kulkas, TV, HP, perabotan. Untungnya bantuan daerah dan relawan cepat datang. Melihat ayam dan nasi saja sudah buat senang. Hampir saja, AC dirumah hanya satu soalnya.


Jaringan telepon mulai kembali, hanya sebatang, tapi sudah cukup untuk berkabar kondisi dengan keluarga. Mereka panik, tentu saja. Informasi mulai dari tsunami, runtuhnya gedung-gedung tinggi, likuifaksi, rumah sakit yang roboh, jumlah korban dan lain-lain aku dapat dari mereka, yang menonton dari layar televisi. 


Hari itu, “Palu” menjadi puncak berita di seluruh dunia. Menjadi kata pembuka topik dalam tongkrongan. Bahkan setelah 5 tahun, setiap kali aku berkata dari Palu, orang-orang pasti akan bertanya, “kau ada disana pas gempa kah?,”. 


Hari itu menjadi tak terlupakan dan selalu dikenang tanggalnya. Hari itu juga perlahan berkembang, menjadi pelajaran, cerita lucu, juga peringatan kematian. Dalam lingkungan tenaga medis pun masih ada yang bilang, “memang pantat putihmu ee, te ada lawan,” padahal bukan aku yang jaga IGD saat itu. Meskipun juga aku tidak mempercayai istilah ‘pantat putih’ dan hanya menganggapnya sebagai candaan.


Bagiku, kejadian itu membekas bukan hanya sebagai PTSD, bukan hanya sebagai ajang pamer, “apa? Pasienmu paling banyak cuma full bed? Saya, hampir satu kota!”, tapi menjadi pengalaman berharga yang tak ingin terulang.


Sampai jumpa di tulisan selanjutnya

Comments

Popular posts from this blog

Merogoh rupiah terakhir

Momen sederhana

BPJS pun angkat tangan