Momen sederhana


Tahun 2023, menjadi tahun petualangan. Tahun dimana saya merantau, menjajaki dunia yang betul-betul berbeda, dunia kerja, dunia keterpaksaan, dunia kedewasaan, dunia kenyataan yang menampar, yang meludahi semua kata-kata bijak pemotivasi hidup. Dunia yang menyadarkan saya untuk terus menoreh tulisan kehidupan.


Tahun ini hampir keseluruhan harinya saya menetap di Bahodopi, Morowali, Indonesia. Sebuah kota yang berselimut dibalik nama desa, saking padat dan kumuh, saking cepatnya putaran waktu juga uang, pengeluaran bulanan yang kemahalan, kemacetan, hujan debu PLTU, polusi, perselingkuhan, pembunuhan, depresi sampai bunuh diri, infeksi menular seksual, pencurian, penipuan, segala bentuk masalah dan konflik sebuah kota ada disini. Namun, dibalik semua konflik itu, saya justru mendapatkan sesuatu yang malah tidak saya harapkan. Kumpulan momen yang sederhana.


Bahodopi itu desa yang sangat padat. Hampir tidak ada tanah kosong disini. Rumah, warung makan, butik, tempat cukur, kos, hampir seluruh bangunan dibangun semi-permanen, punya fondasi beton dan berdinding triplek. Sangat sulit dan mahal untuk menyewa tempat tinggal disini (ada yang sampai 15 juta/bulan untuk menyewa rumah yang bahkan dibagi setengah), bangunan seperti rumah dan kos selalu terisi, penuh, full, diisi oleh puluhan-ratusan ribu pendatang yang mengais nafkah. 


'IMIP' itulah nama daya tariknya, wadah yang menawarkan lapangan pekerjaan begitu besar. 

"Cie, so ada depe panggilan le,", 

"Iyoo, besok so mo kasana mo tes kesehatan,"

"Ok, hati-hati jo dijalan, doa-doakan le supaya ana cepat-cepat dapat panggilan,"

Merupakaan kebanggan bagi mereka yang diterima kerja di IMIP berdasar cuplikan komen di Faceb*ok. Anak tambang, anak IMIP, mereka kaya, banyak uang, hidupnya makmur, "gajimu masih UMR?, diketawakan anak IMIP ko," begitulah kira-kira anggapan mereka, ya, bagi mereka yang tidak pernah merasakan kehidupan kerja di IMIP, belum pernah merasakan udang plastik, cumi karet, vitamin beracun, dan bakso 3M (muntah, mencret-mencret).


"Kerja, kerja, kerja, tipes," salah satu slogan disini. Kenyataannya memang begitu, yang datang kesini bukan untuk mereka yang cari liburan, kunjung keluarga, silaturahmi. 

"Saya sudah 2 tahun hari raya idul adha disini," kata temanku. "Kadang merenung, sedih, menangis, hahaha," ucapnya sambil tertawa bercanda. "Padahal biasanya jam-jam segini sudah kumpul-kumpul keluarga, tapi sekarang yah begini, duduk-duduk saja di depan kos, hahaha," tawanya lagi, sambil menepuk pundakku akrab. Kami tertawa bersama, menipu diri supaya emosi haru ini tidak meluap, terkelabui, menjaga harga diri kami sebagai laki-laki. Saya menyeka kedua mata yang basah akibat terlalu banyak tertawa hari itu.

Pendapatan yang besar juga sebanding pengeluaran yang besar pula. Cicilan yang banyak, biaya hidup yang mahal, tabungan untuk menikah, menjadi pencekik dikala dompet seret. Pikiran pengeluaran untuk tiket yang mahal, uang traktiran, belanja, capek, menjadi penghapus gairah mereka untuk sekedar memutuskan untuk pulang. 

"Belum pulang saja sudah capek mikir ini itu, kalau sudah balik malah stres pikir cicilan, mending tidak usah pulang, uangnya bisa disimpan," 

Uang menjadi begitu berharga ketika dia banyak, dan menjadi tidak berharga ketika dia sedikit, karena pemilik uang banyak akan mengerti, bagaimana beratnya, susahnya, suka duka untuk mencari uang, seberapa banyak pengorbanan lahir batin, banting tulang, untuk menumpuk ini. Pinjam dulu seratus? Kerja goblok!


Bahodopi memang tempatnya perantau. Hampir seluruh orang yang ada disini adalah pendatang. Kebanyakan dari Sulawesi, tapi ada juga yang dari daerah lain, bahkan Malaysia. Menggali beragam asal dan suku-budaya mereka yang datang kemari adalah salah satu topik pembicaraan favorit saya. Setiap malam, selalu saja ada orang baru yang saya ajak untuk berbagi cerita. Latar belakang pendidikan dan pekerjaan yang beragam membuat saya merasa lingkungan ini seru. Mulai dari cerita tentang kisah raja-raja dan suku yang ada di Sulawesi, stigma orang Jawa, Tragedi '98, tambang di Kalimantan, IWIP, pengedaran ilegal narkotika, pekerjaan ekstrim dengan gaji yang menggiurkan, wanita, agama, sampai yang paling terakhir adalah pemilihan presiden 2024. Perbacotan inilah yang menjadi penghibur lara saya di masa perantauan. Setiap hari akan terasa berbeda dengan pembahasan yang membuat kami hampir selalu pulang saat adzan subuh. Saling berbagi kisah, berbagi tawa, berbagi duka, dan berbagi nasib sebagai sesama perantau, mengerti akan indahnya kebersamaan ditengah tekelan takdir.


Banyak momen yang saya senangi di 'kota' ini. Menurut saya momen adalah sesuatu yang sangat sederhana, sangat gampang untuk didapat. Tapi, apakah momen itu bisa kita banggakan?, apakah momen itu bisa kita jadikan sebuah memori penting dalam kehidupan kita yang singkat?, apakah momen itu dapat kita gali kembali untuk diceritakan di kemudian hari? Kalau saja waktu itu saya tidak berani untuk keluar dari zona nyaman mungkin tidak akan ada momen ini. Kalau saja waktu itu saya tidak datang kesini, tidak merasakan bagaimana perasaan hampa yang hampir setiap hari, bagaimana suasana di dalam kos yang gelap, panas, tidak ada sinyal, tidak ada kendaraan, jauh dari keluarga, mungkin saya tidak akan bangga dengan momen ini. Momen kilas balik setahun di tanah antah berantah, di luar lingkaran zona nyaman, membuat saya menjadi lebih kuat, lebih tahan banting, lebih gigih, lebih dewasa, dan lebih-lebih yang lain. Saya bersyukur telah tertoreh cerita ini dalam lembaran kisah saya. 


Terima kasih kepada kawan-sahabat-keluarga 'Tak Suka Nongki' yang selalu menjadi wadah untuk kita saling bacot-bacotan. Kadang pembahasan sudah mulai ngawur, asal-asalan, efek kurang tidur dan kerja tanpa libur. Sebagai catatan saja, dan sudah berkali-kali saya sampaikan, walau terdengar seperti seorang Mario Teguh, tidak ada pelajaran dan nilai yang saya jamin yang pernah keluar dari mulut seorang saya, itu hanyalah beban pikiran yang harus dikeluarkan, kumpulan stres yang menumpuk, kenyataannya dunia tidak seperti itu kawan, hahahaha. Dengan ini, saya tutup bagian cerita saya di Bahodopi. Momen sederhana yang sangat berharga. 


Sampai jumpa di cerita selanjutnya

Comments

Popular posts from this blog

Merogoh rupiah terakhir

BPJS pun angkat tangan