BPJS pun angkat tangan


Setelah tiga tahun berlalu, sekali lagi saya menginjakkan kaki di 'New York'-nya Indonesia, Jakarta. Kota serba sibuk, padat, dan kental polusi. Kota dengan seribu kesan dan hantaman yang dulu pernah saya coba rasakan, mengeliminasi saya hanya dalam selang waktu sebulan, 'pergi!, kamu tidak cocok disini', katanya. Mental krupuk hancur seketika, dan hanya mereka yang kuat bisa bertahan. Hari ini saya kembali, disambut dengan megahnya bandara Soekarno-Hatta.

Jakarta itu melelahkan, bukan cuma Jakarta, Jabodetabek. Bagi saya mereka yang tinggal dan kerja disini seperti mempunyai kekuatan super. Setiap hari berjalan ratusan meter, berdiri selama kereta bergerak, terbentur-menabrak badan di kiri-kanan, terhimpit, terkantuk-kantuk di perjalanan pergi dan pulang kerja, belum ditambah bau bunga mawar yang bebas berkeliaran di keempat rongga sinus, saling salam-salaman dengan setiap helai nervus olfaktorius, kami menderita transient kakosmia. Lihat, wajah letih lesu saya tercermin di ibu dan bapak itu, cewek itu dan pemuda itu, bedanya hanyalah mereka sudah seperti itu untuk hari yang ke sekian dan saya baru hari ini. Astaga! Saya terlewat satu stasiun. Sekarang otak saya yang sudah mulai hipoksia. Sudah hampir pukul sebelas malam, tapi kereta masih ramai. Saya berdiri menggantung, kaki seakan tidak mampu lagi menahan beban badan, terhempas kesana kemari. Niat berpetualangan, sekedar jalan-jalan, malah tambah pikiran. Entah sudah berapa kilometer, setiap jaringan muskulus saya sudah berteriak meminta ampun, mengirimkan sinyal tanda menyerah ke otak. Sehabis JPO (jembatan penyeberangan orang), saya masih harus berjalan tujuh belas menit, kemudian naik busway, dan jalan lagi, Subhanallah, sebulan lagi tinggal disini akan sehat jantung saya, yap, bonus ISPA, dengan semua penyakit itu, mungkin yang membuat bangkrut BPJS bukan cuma korupsi dan rapat besar nan megah, tapi juga banyaknya diagnosa yang harus dicover.

"Disinilah!," terangnya tegas. Itulah jawaban sepupu saya saat ditanya 'kalau disuruh pilih, disini atau di Manado?'. Dia sudah kurang lebih dua tahun di Jakarta, empat kali ganti kerja, beberapa kali pindah kos, dan masih memilih untuk mengejar mimpi di mantan ibu kota Indonesia dibanding kembali ke kampung halaman. Dibalik banyaknya keluhan yang sudah dia ceritakan, tentang susahnya kehidupan disini, Jakarta masih menggantungkan impiannya, mungkin bukan hanya dia, mungkin jutaan pendatang juga merasakan hal yang sama, merasakan bahwa di Jakarta-lah asa itu ada.

Sampai jumpa di tulisan selanjutnya.

Comments

Popular posts from this blog

Merogoh rupiah terakhir

Momen sederhana