Merdeka di tanah rantau

Kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Hak kita untuk menolak dibelenggu, hak kita untuk bebas, hak kita hidup, dan hak kita untuk liburan.

Datang ke tempat ini tujuanku hanya satu. Kerja. Cari uang. Tidak terbesit sama sekali untuk liburan, untuk membuang waktu. Semangat '45 menjadi tulang punggung keluarga. Tapi, beban mental dan fisik datang menyambar tak disangka, menggerogoti semangatku hingga turun tak perkasa. Aku mulai malas pergi kerja. Burnout,  overheat, kata mereka. Hal ini terjadi karena tubuh merasa tertekan, menyebabkan stres. Siklus keseharian yang sama dalam 6 bulan terakhir penyebabnya. Bangun, kerja, istirahat, bangun, kerja, istirahat, bangun....,
.
.
.
"Besok hari kemerdekaan!, jangan kerja-kerja terus, sesekali liburan," teriak temanku menggebu. Dia mengajak kami, teman-teman tongkrongan yang duduk melingkari meja pergi berlibur. Aku sontak mengiyakan. Begitupun tujuh teman yang lain, yang mungkin merasakan lelah yang sama, yang mungkin lebih butuh liburan dari aku.

"Meio! Meio xiuxi!," cerita salah satu temanku, meniru gaya bicara supervisor tenaga ahli TKA. "Mereka nda bisa lihat kita istirahat sebentar bang. Pasti ditegur, disuruh cari kerjaan lain, padahal kerjaan sudah selesai. Bahkan kerjaan yang tidak masuk akal, yang bukan jobdesk disuruh. Lap meja, menyapu, mengepel lantai, padahal bukan itu jobdesknya kita, kan ada yang memang tugasnya untuk itu!," keluhnya.

"Maka itu besok kan 17-an, sekalian liburan, nda usah ambil lembur. Jangan jadi budak!," tegas temanku yang tadi mengajak.

"Itulah bang, makanya mau konfirmasi dulu sama istri, minta izin hehehe, soalnya rugi kalau tidak ambil lembur," balasnya canggung.

"Hadeeh, tadi mengeluh. Lebih baik liburan supaya tidak stress, burnout. Jangan jadi budak! Kita sudah merdeka!," tegasnya. Lawan bicaranya cuma diam dengan senyum tipis canggung.

Memang, kita semua yang datang ke daerah ini butuh uang, kita perantau. Jaminan gaji tinggi berlipat dibanding kerja di kota, bahkan bisa 2-3 kali lipat. Ini yang membuat banyak orang tergoda kerja disini, tidak tanggung-tanggung, kurang lebih sekitar 80.000 tenaga pekerja yang datang dari seluruh pelosok, belum dihitung dengan mereka yang kerja diluar perusahaan sepertiku. Kerja di dalam perusahaan sebagian besar merasa seperti budak korporat di tanah sendiri, dipimpin tenaga ahli yang bukan ahli sama sekali (di sebagian tempat). Teman kerja saling menjatuhkan, menjadi penjilat, anjing memang. Sumpah serapah mereka yang merasa menjadi korban sistem korporasi yang tidak adil. Apa itu K3? Tau slogannya disini? Produksi! Produksi! Produksi! Produksi nomor 1!

"Di dalam memang tidak ada tempat mengeluh? Melapor mungkin? Atau serikat pekerja kan ada," tanyaku.

"Ada memang bang, tapi tidak jalan serikatnya. Masukan yang dikasih tidak direspon sama sekali. Jangankan serikat, leaderku malah tidak mau dengar, mereka lebih takut sama tenaga ahli! Mereka itu yang penting dapat posisi, naik jabatan, tapi kita yang dibawah malah susah," keluhnya lagi. Teman-teman yang lain hanya tertawa, tidak menyangkal, mengiyakan bahkan menambah-nambah cerita. Membuatku yang mendengar geram sendiri.
.
.
.
Perusahaan itu dikenal, di elu-elukan. Mereka yang pulang merantau dari sini dianggap raja, orang kaya. "Ciee, anak I*IP, traktir dulu lee," begitulah kata mereka. Padahal dalam hati, badan sudah tak sanggup, ingin resign. Mental baja mereka sudah karatan, tapi tetap bertahan karena antrian cicilan. Menjauhkan mereka dari kata merdeka.

Gaji besar itu ternyata terkuras dengan kebutuhan hidup yang besar juga. Uang kos, uang makan, uang nongkrong, Iphone terbaru... Ehm, uang gas 'masyarakat miskin' yang harganya selangit, 50-60 rb/tabung, pertalite 15 rb/botol, dan masih banyak pengeluaran mereka yang lain.

Ada yang bahkan sudah 9 tahun kerja disini, kerja ditempat dimana jenjang karir ditentukan oleh tende'-an dan jilatan. Dia masih bisa bertahan diposisi yang sama, jabatan yang sama, keseharian yang sama. Harinya direpetisi hanya untuk bergulat dengan cicilan yang berbaris. Keras kehidupannya bahkan tidak sanggup aku bayangkan.
.
.
.
Kehidupan keras itu didapat di tanah rantau. Mendengar cerita-cerita mereka, ada sedih dihiasi canda, ada canda dibarengi tawa, dan ada tawa di tutup haru. Terlepas dari semua yang terjadi, aku bersyukur, masih bisa merdeka di tanah rantau.

Sampai jumpa di tulisan selanjutnya.

Comments

Popular posts from this blog

Merogoh rupiah terakhir

Momen sederhana

BPJS pun angkat tangan