Teguran alam


Aku termenung di depan rumah, melihat air merangkak pelan di jalanan. Tak begitu lama, ia mencari jalannya, masuk ke rumah-rumah terus ke kamar dan menabrak semua benda yg ada di hadapannya.


Tak terkecuali rumahku. Pemandangan ini hampir sama di rumah sebelah, depan, dan bahkan rumah penduduk lainnya di kampung-kampung tetangga.


Kata orang-orang yang jauh lebih tua, banjir dan ketinggian air kali ini adalah yang terbesar sepanjang 50 tahun terakhir. Berbeda dengan banjir tahun 2014 yang meluluhlantakkan kota Manado, yang karena faktor jebolnya air danau tondano. 


Tapi, kali ini gara-gara hujan, banjir menggenangi rumah-rumah penduduk. Lantas, apakah ini azab Allah? Atau karena ulah ulah manusia yang serakah?


Alam tentunya bisa membentuk dirinya sendiri untuk menjauhi bencana. Tanpa direkayasa manusia pun, alam tahu bagaimana membentuk keseimbangan dalam hidup dan berkehidupan.


Hanya saja manusia dengan tamaknya melawan kehendak alam. Hutan-hutan dan perkebunan yang tadi menyerap air bila berkelebihan, dibabat habis hanya untuk mencari keuntungan. Membangun perumahan, gedung dan kawasan-kawasan yang hanya memenuhi syahwat duniawi, pun begitu juga bukit-bukit yang dibentuk alam demi alur dan jalanan air, diratakan karena alasan bisnis. Kerakusan yang terus dijalankan ini menimbulkan kemarahan alam. Dia tidak bicara, tanpa bisa ditebak kemarahan alam diperlihatkan dengan bukti, fakta dan kenyataan. Banyak kerugian material dan bahkan korban jiwa. Pundi-pundi rupiah yang dikumpulkan berhari-hari, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun lenyap seketika. Ada yg tersisa, tapi tak sedikit yang habis tanpa jejak.


Ada yang terus menangis meratapinya, banyak yang jatuh sakit memikirkan hartanya rusak, hilang dan lenyap seketika. Ada yg bingung, stress dan apalah namanya. Mereka tidak sadar bahwa apa yang dimiliki itu hanya titipan yang tak bisa dibawa mati.


Begitu cara alam menegur, membuat sebagian orang kesal dan saling menyalahkan. Sebagian orang lagi menganggap kemarahan alam sebagai teguran untuk mawas diri, dan sebagian kelompok masyarakat justru menjadikan bencana sebagai peringatan untuk instrospeksi. Introspeksi soal apakah harta yang saya dapatkan ini sudah sesuai dengan tata cara hukum agama? Apakah di dalamnya tidak ada unsur riba? Apakah hak hak orang mustahad yang 2,5% dari penghasilan sudah dikeluarkan? Apakah harta ini dikumpulkan hanya semata-mata untuk kenikmatan dunia, hanya karena gengsi dan riya? Jawaban ini hanya hati kecil dan Tuhan saja yang tahu, istri atau suami, saudara, tetangga, apalagi orang lain dengan setumpuk gelar dan sepintar apapun, tak dapat menjawabnya dengen benar, selain hanya berasumsi.

Lantas jawaban kita sendiri, bagaimana?


Dwira Maulana Arief

Manado, dalam suasana mendung, dan bersih bersih rumah 

010219

Comments

Popular posts from this blog

Merogoh rupiah terakhir

Momen sederhana

BPJS pun angkat tangan