Si Pejuang Harian


Rabu. Maret. 2022. Hari ini saya mengajak istri jalan jalan sore. Ke tempat yang sama. Jembatan Soekarno. Target kami melihat matahari terbenam. Mumpung lagi cerah. Akhir-akhir ini angin kencang bertiup dan hujan bertubi. Seringkali banjir dan longsor. Cuaca sedang tidak bersahabat. Agak sulit mencari momen ini. Tambah lagi dengan kesibukan kami berdua yang sering kali diserang rasa capek pulang kerja.  


Dalam perjalanan, istri saya minta dibelikan pisang goreng di depan warkop Kemang. Pisang goreng stik, yang rasanya cukup asin bagi saya, tambah lagi dengan dabu-dabunya yang lebih asin, membuat mulut terasa mouthfeel, sensasi rasa yang cukup disukai istri saya yang pemilih. Saya hanya pesan saraba, minuman jahe pembangkit semangat plus susu kental manis.


Dekat kedai pisang ada bapak odong-odong. Usianya mungkin sekitar 40 tahunan. Kebingungan, mesin odong-odongnya bermasalah. Macet tidak mau bergerak. Tampak keringat di dahinya meluncur turun membasahi kumisnya yang hidrofobik. Berkali-kali di lapnya dengan handuk kecil yang tergantung di bahunya. Bajunya yang lusuh tampak semakin lusuh dengan hiasan oli mesin yang bertempelan, juga bercak keringat yang menumpang di punggung dan ketiaknya. Celananya terus melorot setiap kali dia berdiri untuk merenggangkan badan. Kayaknya sudah cukup lama dia berkutat dengan alat penghasil rejekinya itu.


Saya dan istri melihat bapak itu dari dalam mobil. Sembari menunggu pisang kami selesai di goreng. Mungkin sekitar 30 menit kami menunggu. Matahari sudah semakin mendekati horizon. Langit menjadi lebih jingga. Terang lampu kedai dan jalan semakin mendominasi pandangan. Mesin bapak itu sekarang sudah bisa bergerak. Mogok-mogok tapi, yang lancar hanya alunan musiknya. Walau begitu, bapak itu masih belum menyerah dan terus memperbaiki mesinnya dengan peralatan seadanya, pantang untuk pulang. Kami berkesimpulan mungkin hanya ini sumber penghasilan bapak. Kalaupun dia pulang sekarang, berarti tidak ada uang makan atau uang kepasar hari ini. Tidak ada susu atau snack yang bisa disuguhkan kepada anak-anaknya nanti. Mungkin hal tersebut yang terus mendorongnya. Akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke jembatan seketika pesanan kami selesai. Meninggalkan pemandangan bapak itu dan mesinnya.


Dalam perjalanan saya dan istri banyak berdiskusi. Mendapat nilai kehidupan singkat dari jalan-jalan sore kami. Mengungkapkan betapa beruntungnya kami dengan apa yang kami punya sekarang. Mengingatkan kami untuk terus bersyukur dengan anugrah Tuhan yang melengkapi kami. Berharap bapak itu juga tetap kuat menghadapi cobaannya hari ini.


Setelah selesai kami makan dan waktu magrib tiba, kami iseng melewati jalan tadi. Ingin melihat nasib bapak. Alhamdulillah, mesinnya sekarang sudah berfungsi. Lampu LED warna warni mewarnai, lagu anak-anak ikut meramaikan, juga mesin odong-odongnya yang lancar berputar-putar. Kami sulit melihat wajah bapak itu karena mobil yang sementara berjalan dan langit yang sudah mulai gelap. Tapi, wajahnya pasti penuh dengan keringat. Tentu saja dengan senyum lebar menghiasi! Walau senyumnya mungkin tertutupi dengan kumis hidrofobiknya.


Sampai jumpa di tulisan selanjutnya :))

Comments

Popular posts from this blog

Merogoh rupiah terakhir

Momen sederhana

BPJS pun angkat tangan