Sebulan di Jakarta


Awal Juni. 2021. Tampakan kota Jakarta hari itu sungguh jelas terlihat dari dalam pesawat. Jelas dengan polusinya yang berperan sebagai filter bak aplikasi fotografi. Membuat kesan pemandangan saat itu dibilang cukup estetik. Jarak pandang yang terlihat dari jendela pesawat tidak jauh, mungkin sekitar 5 km. Lewat dari jarak itu sudah diselimuti polusi nan tebal. Awalnya saya mengira ini adalah kabut ataupun juga awan mendung, tapi hal itu kian jelas saat saya keluar dari bandara dan melihat langsung dari permukaan. Yup, polusi.

Jakarta kota metropolitan. Kesan pertama, kota ini sangat sibuk. Rata-rata penduduknya adalah pekerja kantoran yang masuk jam 8 dan keluar jam 8 juga. Malam. Situasi jalanan sangat padat dengan kendaraan apalagi saat pagi dan sore. Waktu mereka datang dan pulang kerja. Bahkan tol yang notabene solusi kemacetan bisa penuh dengan mobil pada hari-hari tertentu. Memang, kemacetan adalah salah satu masalah besar di kota ini. Masalah yang dapat merenggut waktu dan tenaga pekerja. Makanya pemerintah kota Jakarta sekarang sedang gencar-gencarnya mempromosikan kendaraan umum. Salah satu item kota Jakarta yang saya sukai. Kendaraan umumnya sudah cukup lengkap walaupun masih ada kekurangan. Namun pemerintahnya sedang berusaha untuk memperbaiki itu dengan dibuatnya sistem Integrasi. Dengan harapan Jakarta dapat seperti kota-kota besar lain. Contohnya tokyo dan singapura. Yang sudah terkenal tranportasinya. Seperti shinkasen, MRT, LRT, dan lain-lain.

Saya memutuskan datang ke Jakarta. Merasakan kerasnya kehidupan ibu kota. Konon katanya kalau sudah pernah merasa hidup di Jakarta, kota-kota lain akan terasa lebih mudah. Hari pertama, saya berangkat kerja. Ojek online pun dipesan. Jaraknya dari perumahan saudara saya di Bekasi ke Jakarta, Manggarai. Cukup jauh. Sudah beda kabupaten. Sehingga biayanya sekitar 50 ribu rupiah. Pesan dari sepupu saya sebelum naik motor di Jakarta adalah jangan lupa pakai jaket. Karna bau polusi akan menempel di baju kita. Sekeluarnya motor dari kompleks perumahan. Beratnya kota Jakarta langsung terasa. Tenggorokan saya yang pertama kali berespon. Hipersalivasi dan dahak yang meningkat sebagai bentuk awal tubuh ini bereaksi dengan padatnya polusi. Napas terasa sedikit sesak. Walaupun ini waktu pagi. Udara pagi yang seharusnya kaya akan oksigen. Kendaraan dimana-mana. Meramaikan jalanan. Bahkan saya yang naik ojek online merasakan macetnya. Pemandangan jalanan Jakarta saya saksikan. Sulit berpaling. Jalannya disini sudah seperti gedung. Bertingkat-tingkat. Berdampingan dengan rel-rel kereta. Kepala saya tidak bisa berhenti mendongak ke kanan dan kiri. Suara klakson bersahut-sahutan di perempatan. Menandakan semua pengendara itu sedang buru-buru mengejar waktu. Saya pun juga. 1 jam lagi jam 9. Perjalanan dengan motor memakan waktu sekitar 45 menit. Sebenarnya ada akses yang lebih cepat. Hanya di Jakarta. Perjalanan jauh lebih cepat dengan menggunakan mobil. Melewati tol. 

Tidak adanya kendaraan pribadi di Jakarta memaksa saya untuk menggunakan tranportasi umum. Plus jalan kaki. Untuk berpindah dari transportasi satu dan lainnya. Karena itu juga saya jadi bisa tau seluk beluk kota ini. Rute saya tiap hari adalah jalan melewati gang-gang sempit. Salah satu item kota Jakarta yang menjadi masalah. Dengan padatnya penduduk kota ini. Hal itu sangat tercerminkan dari rumah-rumah di gang-gang yang sering saya lewati. Rumahnya sangat padat. Bahkan lahan parkir pun disewakan. Saya yang pertama kali melihat pemandangan ini gerah. Melihat kondisi rumah-rumah yang begitu pengap dan sempit. Bahkan dalam suatu data disebutkan bisa 2-3 KK yang tinggal dalam satu rumah kecil ini. Kondisi rumah-rumah di gang-gang Jakarta sangat berbanding terbalik dengan pemandangan di area ‘kotanya’. Dimana terdapat gedung-gedung tinggi yang dapat menggapai langit. Dan jalan-jalan lebar yang ramai dengan Mercy dan BMW.

Mencari tempat tinggal di Jakarta sebenarnya mudah. Disini banyak tersedia kos dan apartemen yang disewakan. Tapi waktu yang akan kita habiskan disini hanya sebulan. Apartemen mengharuskan minimal tinggalnya 1 tahun. Jadi pilihan kita mengerucut ke kos. Pencarian kos di kota Jakarta pun gampang-gampang susah. Tempat kos di Jakarta kecil dan mahal. Rata-rata harganya di atas 1 jutaan lebih. 2 jutaan dengan AC. Dengan harga segitu kita sudah bisa dapat kelas sultan kalau di kota lain. Susah ternyata dapat kos di Jaksel. Pilihan terakhir akhirnya terhenti di kos daerah Manggarai. Kos Rukita Manggarai. Per bulannya 3.700.000 rupiah! Plus 200.000 rupiah kalau ada penambahan 1 orang. Istri saya. Jadi tinggal 100.000 rupiah lagi jadi 4 juta untuk harga kosnya per bulan. Pertimbangannya waktu itu kita sekalian bulan madu di Jakarta. Jadi pilih tempat yang nyaman. Oh iya, tidak lupa juga ditambah deposit 3.700.000 rupiah untuk ambil kamar di sini. Katanya memang hampir semua penyewaan di Jakarta pasti ada depositnya. Jadi total semuanya yang kita bayarkan di awal adalah 7.600.000 rupiah! Walaupun depositnya akan dikembalikan dua minggu setelah kita check out. Tapi tetap saja uang yang kita keluarkan diawal cukup merogok koceh.

Sebulan di Jakarta menunjukkan saya betapa hebatnya kehidupan disini. Lain dari kota-kota yang lain. Kesibukannya sangat terasa. Tinggal disini harus siap bekerja. Mereka yang tidak bekerja akan tenggelam dengan kuatnya arus ekonomi. Saya yang hanya sebulan disini dipaksa untuk menyesuaikan. Minggu pertama tubuh kita merasakan perubahannya. Mulai dari hipersalivasi sampai mabuk dengan gedung-gedung pencakar langit. Minggu ke 2 kita akan dibuat pusing dengan sistem tranportasi disini. Pokoknya kita akan banyak bertanya. Dan banyak tersesat. Minggu ke-3 fisik dan mental mulai menyesuaikan. Minggu ke-4 kita akan mulai terbiasa dengan gaya hidup serba cepat di kota ini. Bahkan saat kita pulang pun kehidupan  kita di Jakarta selalu menjadi salah satu bahan obrolan. Kesan yang diberikan kota ini sangatlah banyak. Ceritanya pun sulit untuk dituliskan dalam satu bacaan pendek. Jakarta memang menjadi tempat yang sulit untuk ditinggali. Tapi kalau ditanya mau kembali atau tidak jawaban saya adalah 100% ingin kembali.

Sampai jumpa di tulisan selanjutnya.

Comments

Popular posts from this blog

Merogoh rupiah terakhir

Momen sederhana

BPJS pun angkat tangan