TIba-tiba Covid


Juni. 2021. Cuaca kota Jakarta hari ini cerah. Secerah angka covid-19 yang meningkat. Bulan ini adalah bulan yang amat berat bagi kita semua. Apalagi para tenaga kesehatan. Klaster kedua sementara menyerang. Klinik-klinik penuh dengan pasien. Takut ke rumah sakit. Kenapa? Sebenarnya bukan takut. Mereka tidak bisa. Rumah sakit sekarang penuh dengan covid. Pasien tidak kebagian bed, bahkan sekarang bukan kebagian bed lagi, tidak kebagian ruangan! Pemandangan di parkiran rumah sakit penuh dengan pasien. Pasien yang berdiri, pasien yang baring di ekstra bed, sampai pasien yang beralaskan tikar, hanya meringis kesakitan di dalam tenda-tenda darurat. 

Dokter umum yang kerja di klinik pun merasakan beban yang sama. Saya salah satunya. Mendapat kerja di klinik area perbatasan Tangerang-Jaksel. Pasien yang datang ke klinik ini ramai sejak paska lebaran. Sehari bisa sampai lebih 200 pasien yang periksa ke dokter. Dimana dalam sehari dibagi dalam tiga shift. Yang berarti 8 jam tiap shiftPasien yang datang saat shift pagi dan sore bisa sampai 100 orang. Dengan konversi 1 jam menjadi 60 menit, dalam hitung-hitungan matematika kita mendapat pasien tiap 4,8 menit! Bayangkan saja memeriksa pasien dalam waktu kurang dari 5 menit. Pemeriksaan lambat pasien menumpuk. Beban kerja seperti ini sampai membuat sejawat saya sakit. Tapi apa yang dilakukannya? Tetap datang untuk periksa pasien. Di klinik ini saya mendapat jatah shift malam. Saya mengambil lowongan kerja disitu karena rata-rata pasien yang datang 2-10 orang. Bahkan sering juga tidak ada pasien yang datang. Namun sekarang berbeda sejak covid-19 menyerang. Pasien menjadi 2-3 kali lipatnya. Terhitung 4 minggu sejak saya pertama jaga, jumlah pasien rata-rata 20-30 orang. Saya pribadi juga pernah memeriksa pasien yang berjumlah 80 orang dari jam 5 sore sampai jam 9 malam. Dari buka sampai tutup pasien masih tetap berdatangan tanpa henti. Padahal itu klinik kecil. Biasanya pasien yang datang hanya 20 orang lebih pada saat sebelum lebaran. Sekarang meningkat 4 kali lipatnya.

Jakarta merupakan zona merah Covid-19Diagnosis covid-19 bukan hal yang langka lagi ditemukan di klinik. Banyak pasien yang datang langsung tes swab tanpa periksa ke dokter. Mereka sudah merasakan sendiri gejalanya. Demam, batuk, dan sesak. Memang rata-rata pasiennya tidak bergejala berat. Hanya seperti flu pada umumnya, biasanya ditambah gejala2 lain, seperti mulut pahit atau tidak ada rasa makanan dan sulit membau. Namun mengetahui kita positif Covid-19 atau tidak itu bukan tentang kita. Tapi tentang mereka yang disekitar kita. Bisa saja kita baik-baik saja. Karena badan kita fit, masih muda, tidak ada penyakit penyerta. Tapi bagaimana dengan mereka yang punya itu semua. Sudah tidak sehat, usianya sudah renta, dan/atau punya penyakit penyerta seperti penyakit jantung kronis dan asma. Ditambah belum vaksin lagi! Sudah bisa dipastikan kemungkinan besar akan berakhir di ICU (intensive care unit). 

Reaksi tiap orang melihat hasil pemeriksaan swab antigen juga beda-beda. Ada yang tadinya tertawa-tawa, setelah periksa, keluar hasilnya positif. Diluar langsung menangis, tersedu-sedu, tidak menyangka bisa positif, padahal kalau melihat data pasien covid-19 di Jakarta saat ini, 1 dari 2 orang bisa positif. Namun ada juga yang reaksinya biasa sekali. Cewek, datang konsul, masuk ruangan dokter langsung duduk. Dengan entengnya langsung bilang “dok saya positif,” saya yang saat itu jadwal jaga, kaget. Saya yakin tidak salah dengar, walau suara pasien ini sedikit samar karena masker 2 lapis yang dia pakai. Saya terdiam sejenak, “tau dari mana?,” “tadi pcr dok,”. Terdiam lagi. Pasiennya sama sekali tidak ada gejala. Usianya memang muda, sekitar 20 tahun. Sudah vaksin juga. Kerja sebagai apoteker di klinik tempat saya masuk. Memang tiap dua minggu ada pemeriksaan rutin untuk karyawan disini. Kebetulan hari ini keluar hasilnya. Setelah dikasih obat dan edukasi saya bertanya. “Dokter magang disini dapat jatah buat periksa gak?,”.

Drama jaga klinik selama covid-19 di Jakarta juga banyak. Saya sering merasa tidak tega melihat pasien yang seharusnya dirawat di IGD, karena tidak dapat tempat akhirnya datang berobat ke klinik. Padahal klinik kebanyakan tidak punya rawat inap. Tatalaksana disini hanya seadanya saja. Pasien datang dengan tumor, dengan muntah-muntah berat, dengan trauma, dengan wajah yang sudah penuh darah. Ditolak dengan alasan IGD sudah penuh dengan pasien covid. Maaf adalah satu kata yang sering saya lontarkan “bu, pak, saya mohon maaf, tatalaksana yang saya berikan hanya bisa sampai disini,”. Surat rujukan selalu jadi amunisi buat mereka. Berharap ada rumah sakit yang masih bisa menerima. Entah dapat atau tidak.

Pemerintah sekarang lagi gencar-gencarnya mempercepat vaksinasi. Mengejar herd immunity. Indonesia berusaha untuk memaksimalkan program 1 juta vaksin sehari. Tenaga medis sudah bekerja keras melayani. Tapi entah dari mana masih ada saja kelompok anti vaksin. Mengangkat isu dari sumber yang tidak jelas keberadaannya. Merasa pintar dengan debat tanpa dasar yang kuat. Kadang tugas paling berat dokter adalah memberikan edukasi. Memberikan pemahaman dengan cara yang baik dan sopan. Suka menelan ludah sendiri kalau sudah di jelaskan baik-baik ujung-ujungnya pasien denial. Kita hanya bisa geleng-geleng. Menahan emosi.

Mimpi buruk di India sudah mulai menjadi nyata di Indonesia. Pesan saya hanyalah jaga diri kalian, patuhi protokol kesehatan, dan ikutilah vaksinansi covid. Ajak yang lain. Berdoalah. Supaya Allah menjaga kita, dijauhi dari terbaring sekarat di parkiran rumah sakit, tanpa bisa apa-apa. Tanpa ada orang yang bisa membantu. Dibiarkan tak berdaya karena situasi dan kondisi. Semoga kita bisa dijaga dari segala mara bahaya. Aamiin.

Sampai jumpa di tulisan selanjutnya.

Comments

Popular posts from this blog

Merogoh rupiah terakhir

Momen sederhana

BPJS pun angkat tangan