Jarod (Jalan Roda)

 


Selama waktu saya di Manado, banyak tempat yang saya kunjungi. Mulai dari mall, pasar, rumah saudara, sampai toko emas. Dari semua tempat tersebut, ada satu tempat yang berkesan. Berkesan akan kesederhanaannya, berkesan akan keramaiannya, dan juga berkesan akan ceritanya. Nama tempat itu adalah jalan roda. Terletak di salah satu lokasi pusat perbelanjaan di Manado.


Pagi itu sekitar jam 5.30 pagi. Matahari masih malu memancarkan sinarnya. Ayam sudah menyanyikan suara merdunya. Perut saya pun bergejolak. Meminta suapan makanan dari luar. Saya cari di dapur. Tidak dapat. Kebetulan ayah saya ada di ruang tamu, sudah bangun. Sempat melihat saya masuk ke dapur. Menduga saya lapar dan mencari makan. Dilihatnya saya zonk, dia pun mengajak cari makan. Kebetulan sama-sama lapar juga. Bergegaslah kami. Tanpa mandi dan pakaian apa adanya. Memanaskan mobil dan pergi. Jalan masih agak sunyi. Hanya diramaikan petugas kebersihan yang menyapu jalan. Sudah kerja dari Shubuh. Mengejar keramaian kota. Selalu rajin dan disiplin.


Walau lokasinya di pusat kota, lokasi jalan roda hanya memakan waktu sekitar 10 menit dari rumah saya. Jalan roda itu hanyalah sebuah jalan, panjang sekitar 70 meter. Sudah dipasangi atap seperti tenda. Pasangnya sudah permanen disitu. Supaya tidak panas dan kena hujan. Hanya seperti lorong yang banyak warung makan dan warung kopinya. Masih pagi tapi sudah banyak orang yang ada disana. “Masih sunyi,” kata ayahku. Seramai ini dan dibilang masih sunyi. Jaraknya tidak jauh dari pintu masuknya, kita masuk ke salah satu warung makan disitu. Menunya lengkap. Mulai dari sate tindarung sampai ke tindarung rica-rica. Sayur kangkung. Sup. Bubur. Teh. Kopi. Menu-menu makanan rumahan lah. Nasinya banyak. Harganya juga merakyat. Yang penting kenyang. Lambung tidak lagi meronta.


Sehabis makan minum kopi susu. Setengah gelas. Hanya duduk saja. Tiba-tiba ada orang asing. Lumayan berumur. Salam-salaman dengan ayah saya. Langsung duduk pesan kopi. Langsung-langsung saja. Langsung bicara politik, habis politik ke soal agama, baru ke bisnis, dan lain-lain. Banyak. Saya hanya pengamat. Menambahkan sedikit-sedikit kalau ditanya. Wajar, topik pembicarannya lumayan sensitif bagi saya. Waktu tidak terasa berjalan, mungkin 2 jam kita duduk disitu sambil cerita. Berulang-ulang ayah saya bertanya sama saya, “sudah mau balik?,” khawatir suasana ini membosankan untuk saya. “Terserah,” saya menjawab. Sampai jam 8 tidak balik-balik. Waktu yang bertambah siang juga seiring dengan bertambahnya orang-orang. Sempat bertemu dengan ‘dokter’ jarod. Sudah 20 tahun praktek disitu. Selalu bawa alat pengukur tekanan darah dan stetoskop merk onemed. Berkeliling menawarkan jasa. “120/70, bagus,” katanya, setelah mengukur tekanan darah saya. Ayah saya dan temannya tersenyum lebar melihat pemandangan itu. Saya tanya “berapa pak?,” “seikhlasnya saja,” jawabnya. Setelah dibayar dia mengucapkan terima kasih. Banyak terima kasih. Sungguh orang yang rendah hati. “Betul caranya periksa?,” tanya ayah saya. “Betul,” saya menjawab.


Banyak orang dengan beragam pekerjaan, ras, agama dan status sosial datang ke jarod. Mulai dari pengamen sampai pejabat. Semuanya bisa duduk di meja yang sama. Berbagi cerita. Mayoritasnya mereka yang berumur 40 tahun ke atas. Jarang terlihat anak muda, yang lebih tertarik nongkrong di mall atau cafe. 


Jarod sejarahnya panjang. Saya jelaskan singkat saja. Dulunya ini adalah jalan kereta kuda. Pengendaranya sering mampir disini. Lama-kelamaan berkembang jadi tempat pemberhentian. Banyak dibuka warung-warung. Sekarang jalan ini sudah tidak aktif lagi sebagai jalan untuk lalu lalang kendaraan. Hanya hadir sebagai tempat kumpul. Entah sampai kapan bertahannya. Mereka yang meramaikan tempat ini sudah mulai tua dan berkeriput. Singkat cerita. Saya dan ayah saya pun pulang setelah waktu menunjukkan pukul 8.30. Ibu sudah mulai mencari dirumah. Takut dimarah. Ayah saya pamit. Membayar 3 gelas kopi. Eh, 4 gelas kopi. Ada satu orang lagi yang bergabung dengan ceritanya. Tapi tulisan ini sudah terlalu panjang untuk merangkum kisah itu. Mungkin dilain waktu saat ada kesempatan lagi kesana. Minum kopi sambil menikmati waktu kosong di pagi hari. Mendengar cerita dari berbagai sudut kota.


Sampai jumpa di tulisan selanjutnya.

Comments

Popular posts from this blog

Merogoh rupiah terakhir

Momen sederhana

BPJS pun angkat tangan