'Dia' yang terlupakan

    


    Kamis. 29 April. 2021. Sekarang memasuki hari ke-17 puasa Ramadhan. 5 hari sudah saya di Manado. Kota tinutu'an. Diberikan julukan sesuai nama makanan khasnya. Sering juga disebut bubur Manado oleh orang diluar kota ini. Isinya dapat dicampur bermacam bahan. Tapi sebagian besar oleh beras, kangkung, dan labu sebagai pemberi warna kuning yang khas. Disajikan dengan tahu dan bawang goreng. Selain tinutu'an. Ada juga makanan lain yang cukup dikenal orang. Gohu, mi cakalang, RW, juga salah satu minuman khasnya. Cap tikus. Minuman keras dengan kadar alkohol sekitar 40 persen. Sekali tuak langsung teler. Tetap eksis walau ditemani slogan khas kota Manado. Brenti jo bagate! (Berhenti saja minum miras).

    Kota Manado letaknya ada di paling utara pulau Sulawesi. Merupakan ibu kota dari provinsi Sulawesi utara. Juga terkenal akan sifat saling toleransinya.  Sempat meraih penghargaan kota paling toleran di Indonesia. Toleran antar umat beragama. Toleran antar warga. Dan yang paling penting, toleran dalam hal berkendara. Masalah di setiap kota yang pernah saya kunjungi. Sesuai juga dengan filosofi kota ini, juga merupakan filosofi favorit saya. Si tou timou tumou tou. Manusia dimanusiakan untuk memanusiakan manusia. Dipopulerkan oleh pahlawan nasional dari Minahasa. Dr. Jacob Garungan Samuel Sam Ratulangi, lebih dikenal dengan Dr. Sam Ratulangi.

    Kota ini juga terkenal dengan banyaknya tempat wisata. Bunaken, salah satu lokasi wisata yang sangat dikenal. Pulau kecil yang bisa ditempuh sekitar 1 jam dengan speedboat. Walaupun kecil, tapi namanya besar. Dimanapun saya pergi. Bunaken selalu disinggung di setiap pembicaraan. Jujur, saya juga baru sekali pergi kesana. Tapi kenangan yang saya dapat menetap sampai sekarang. Itu hanya salah satu dari daya tarik kota Manado. Banyak juga yang lain. Pulau siladen, pulau nain, danau Linau, dan destinasi super prioritas, Likupang.

    Terlepas dari itu semua. Manado yang mengedepankan pariwisata menjadi kota yang terkena dampak dari 'dia'.  Pengunjung mulai berkurang, karena 'dia' yang terus meluas. Hotel kecil ditutup. Bangunannya dijual. Tidak sanggup melewati gelombang yang sudah berlangsung kurang lebih 2 tahun ini. Mirisnya, banyak yang masih tidak sadar akan ini. Masker dilepas. Jarak dirapatkan. Protokol seakan jadi candaan. Dimana kasus semakin meningkat, kesadaran semakin turun. Seakan 'dia' telah terlupakan. Sungguh miris.

    Sebagai seorang tole', saya ingin dampak yang diderita kota ini bisa berkurang. Kita bisa menang sebagai kota paling toleran. Seharusnya bisa kita bertoleransi dengan kota ini. Dimulai dari diri kita sendiri. Dengan hal yang mudah. Patuhi protokol kesehatan. Pakai masker yang sesuai standar. Jaga jarak minimal 2 meter. Rajin cuci tangan, pakai sabun atau alkohol. Dengan penerapan hal ini. Insya Allah Manado bisa bangkit kembali. Menjadi pelopor. Menjadi contoh.

Sampai jumpa di tulisan selanjutya. 


Comments

Popular posts from this blog

Merogoh rupiah terakhir

Momen sederhana

BPJS pun angkat tangan