Manusia Goa

 


Sejak saya kecil, banyak orang berkata kalau saya adalah anak yang pendiam, jarang berbicara, lebih suka menyendiri, dan anak yang penurut, gampang diatur. Semua yang mereka katakan itu benar, saya tidak menyangkalnya. Bahkan saat kuliah pun, teman-teman saya bercanda dengan menjuluki saya manusia goa, karena jarang sekali keluar kamar, bicara pun seadanya. Bagi saya, diam adalah cara untuk membatasi zona nyaman saya, berbicara itu menguras energi, mengikuti alur pembicaraan itu melelahkan, khawatir kalau salah bicara, takut menyinggung orang, dan pikiran-pikiran lain yang terlalu berlebihan sampai saya sulit memutuskan membuka mulut.  Walau sekarang pikiran itu sudah sedikit bisa saya kendalikan, tetap saja, terkadang akan ada waktu dimana sifat itu kambuh.

Kata orang, itu adalah ciri seorang introvert. Semenjak ramai beberapa tahun lalu tentang self diagnosis tipe kepribadian, saya sudah merasa kalau tipe kepribadian saya adalah memang introvert, tapi saya masih belum yakin, sampai saya melakukan tes kesehatan mental untuk keperluan mendaftar kerja.

"Introvert ya kamu," kata dokter spesialis kejiwaan itu membaca hasil tes MMPI saya.

"Oh iya dok?," saya memastikan.

"Ini grafiknya, sudah lewat batas," katanya lagi sambil menunjuk garis-garis dan kode-kode yang tidak saya mengerti. "Terus ini juga, sifatnya kamu sedikit feminim," lanjutnya.

"Maksudnya dok? Saya agak banci begitu? Saya sudah menikah dok,"

"Hahaha, bukan, maksud saya kamu itu sifat lembutnya mirip perempuan, bukan banci, beda lagi itu," jelasnya. "Biasanya orang introvert memang ada yang punya sifat seperti itu," sambungnya. "Kamu anak pertama ya?," tanyanya lagi.

"Iya dok, kami 4 bersaudara semuanya," ujar saya.

"Wajar saja kok, kalau anak pertama memang begitu," katanya lagi menjelaskan, saya diam lagi sambil tetap melihat kopian hasil tes itu. "Yah, tidak usah khawatir, saya juga dulu introvert, tapi bisa kok berubah,"

"Oh begitu dok," jawab saya singkat. "Tapi dok, kepribadian saya bisa menurun secara genetik sama anak saya tidak?,"

"Secara genetik, sifat itu pasti menurun, cuma didikan orang tua yang paling berperan, jangan sampai sudah tau kamu itu introvert, mendidik anak juga diaam terus," candanya sembari merapikan jilbab.

Hasil tes diagnosis itu pun sangat mempengaruhi saya melihat kembali kehidupan sosial saya. Walau saya sudah tidak terlalu kaget dengan hasilnya karena sudah sesuai dugaan. Saya kemudian lebih sering berani memulai pembicaraan di lingkungan yang baru, mulai sering keluar rumah, menambah kawan baru, meminta nomor orang yang baru saya kenal untuk lebih akrab. Meski di tempat ramai saya masih merasa lelah tanpa sebab, saya tetap mencoba mengikuti berbagai aktivitas sosial.

Menjadi seorang introvert itu tidaklah menyenangkan. Berlapis-lapis pikiran dan pertimbangan sudah membuat saya capek duluan bahkan sebelum saya memutuskan sesuatu, akhirnya saya pun sudah malas sebelum mencoba. Bahkan menunjukkan emosi sedih, senang, ataupun marah juga harus dipikirkan, mereka sering bilang kalau saya orangnya datar dan minim ekspresi, yang pada akhirnya justru membuat orang lain malas juga berbicara dengan saya. Orang introvert itu khususnya saya, sebenarnya tidak suka menyendiri, saya menyesal tidak mempunyai banyak teman, tidak ada tempat bicara, membuat saya tidak merasakan masa-masa remaja yang kata banyak orang adalah masa paling menyenangkan, saya melewati semua itu dengan kesendirian. Ketika mereka membicarakan serunya ini dan itu, asiknya ini dan itu, saya hanya diam membayangkan betapa senangnya juga kalau saya merasakan hal yang sama, merasakan dunia mereka yang hidup, kontras dengan dunia saya yang sepi, sunyi, dan sempit. 

Namun, menjadi seorang introvert juga tidak selamanya buruk. Melamun dan berpikir sendiri juga membuat saya lebih sadar akan diri sendiri, selalu mencoba menelaah dan memperbaiki diri, mudah membaca suasana dan sifat orang lain, tidak gampang blunder dalam bicara, seperti kata nenek saya, "orang yang banyak bicara itu banyak salahnya,".

Pada akhirnya, saya terus mencoba mencari titik keseimbangan dan mengelola sifat saya.

Sampai jumpa di tulisan selanjutnya.

Comments

Popular posts from this blog

Jalan-jalan di perjalanan baru

Malu dihadapan Tuhan

Hayes